ABSTRAK
Perkembangan peran
dan posisi kaum perempuan sejak masa lampau hingga saat ini telah menempatkan
perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan kaum pria. Perempuan memiliki
kesempatan yang sama dalam berbagai bidang. Perempuan mempunyai tanggung
jawab yang sama terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi
majunya pembangunan negara ini termasuk didalamnya peran dalam bidang
pembangunan pertanian.
Salah satu peran perempuan dalam membangun pembangunan pertanian yaitu dengan ikut berperan dalam menciptakan program-program yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dengan meluncurkan program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang berupaya mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
Salah satu peran perempuan dalam membangun pembangunan pertanian yaitu dengan ikut berperan dalam menciptakan program-program yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dengan meluncurkan program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang berupaya mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
Peran perempuan
sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka telah banyak
yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat
menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Insinyur pertanian
sebagaian besar adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan dibidang
pembangunan pertanian diberbagai daerah, dengan memposisikan dirinya sebagai
pembuat lapangan kerja dibidang pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan
regulator di bidang pertanian baik yang bergerak di swasta maupun di
pemerintahan.
Perempuan telah
menyumbangkan jumlah waktu yang sedikit lebih rendah daripada pria dalam
mencari nafkah dan kegiatan di luar rumah lainnya, namun wanita jauh lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumahtangga. Tugas untuk mengurus,
membimbing, dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab utama seorang ibu.
Latar Belakang
”Menurut Pudjiwati Sajogyo, 1984 dalam
penelitiannya tentang peranan perempuan dalam perkembangan masyarakat desa
mengungkapkan betapa besar sumbangan perempuan dalam ekonomi masyarakat dan
rumahtangga maupun dalam kehidupan keluarga. Nampaknya perkembangan masyarakat
desa dewasa ini memerlukan partisipasi perempuan. Dalam transisi ke arah
industrialisasi seperti terutama terjadi di daerah perkotaan ternyata bahwa
tenaga kerja perempuan juga mengambil peranan”.
”Pernyataan tentang adanya kesempatan, hak dan
kewajiban yang sama bagi pria dan wanita untuk berpartisipasi dalam segala
kegiatan pembangunan seperti yang tercantum dalam GBHN 1983, telah mendorong
peningkatan jumlah tenaga kerja wanita dalam angkatan kerja. Meningkatnya
kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat, termasuk kaum wanita, maka
semakin banyak wanita yang memasuki lapangan pekerjaan” (Ihromi, 1990).
Scholz menunjukkan bahwa kontribusi tenaga
kerja mereka belum terungkap secara transparan. Baik bila dilihat curahan waktu
dan tenaga untuk kegiatan produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran serta
kaitannya dengan kegiatan rumahtangga. Dalam perkembangan pertanian, kembali
perempuan tidak mampu untuk eksis dikarenakan masih adanya penilaian masyarakat
terhadap partisipasi perempuan pada sektor pertanian yang masih mendiskriminasi
perempuan serta asumsi yang menyatakan bahwa kegiatan pertanian merupakan
urusan laki-laki yang dinyatakan sebagai pengelola usaha tani adalah suami atau
kepala keluarga (Paris, 1987 dalam Pratiwi, 2007).
Fenomena di atas dikuatkan dengan norma dan
tradisi yang hidup dalam masyarakat. Hal ini juga mengakibatkan mereka kurang
menjangkau sumber-sumber ekonomis (tanah, modal dan tenaga) dan berbagai
kemudahan dari pemerintah seperti pendidikan keterampilan, penyuluhan dan
pelayanan lain seperti halnya kaum laki-laki, perempuan juga memiliki hak – hak
asasi selaku perempuan (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, 1988).
Perkembangan peran dan posisi kaum perempuan
sejak masa lampau hingga saat ini telah menempatkan perempuan sebagai mitra
yang sejajar dengan kaum pria. Perempuan memiliki kesempatan yang sama
dalam berbagai bidang. Perempuan mempunyai tanggungjawab yang sama
terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi majunya
pembangunan negara ini termasuk didalamnya peran dalam bidang pembangunan
pertanian.
Perempuan sebagai sumber daya insani yang
cukup besar jumlahnya saat ini, merupakan subyek pembangunan yang cukup
handal. Mereka adalah kekuatan potensial bangsa yang hadir dalam jumlah
yang tidak hanya besar, tetapi juga berimbang jumlahnya dengan kaum pria.
Keberadaan perempuan tidak dapat diabaikan, karena kenyataan menunjukkan bahwa
daya tahan fisik perempuan melebihi kaum pria yakni sekitar 64 tahun bagi
perempuan dan 63 tahun bagi pria.
“Peningkatan pemahaman akan peran serta dan
kontribusi perempuan dalam pembangunan pertanian akan menimbulkan pemahaman
bahwa penyuluhan dan pendidikan keterampilan di bidang pertanian tidak saja
ditujukan kepada kaum laki-laki tetapi juga kepada perempuan. Walaupun dalam
bidang pertanian perempuan telah memiliki pengakuan secara legal di Indonesia
dengan ratifikasi Convention on the Elimination of All Discrimination
Against Women (CEDAW) atau Konvensi tentang Hak-hak politik perempuan
dengan UU No. 68/1958 dan konvensi tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan” (Hartono, 2000).[1]
PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Istilah ibu rumahtangga (housewife)
adalah penemuan yang boleh dibilang baru. Paling lama, istilah itu baru berusia
sekitar satu setengah abad ketika istilah itu memulai debutnya dalam
ruang-ruang gambar dan dapur di Utara. Sejak itu, istilah ibu rumahtangga
menyebar luas dan kini bisa ditemukan di segenap penjuru dunia.
Baik di dunia Timur maupun Barat, perempuan
digariskan untuk menjadi istri dan ibu. Sejalan dengan ini, stereotipe yang
dikenakan pada perempuan adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen,
dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten kecuali untuk tugas rumahtangga.
Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka lebih tinggi.
Mereka juga mempunyai hak untuk mengendalikan perempuan. Pandangan ini juga
terdapat di lingkungan masyarakat Jawa. Perempuan disebut sebagai konco
wingking bahkan ada pameo swargo nunut neroko katut.[2]
Dengan demikian biasanya perempuan
disosialisasikan untuk berperan sebagai istri dan ibu. Mereka disiapkan untuk
menjadi makhluk yang patuh dan tidak asertif. Hal ini bertolak belakang dengan
sifat yang dinilai tinggi dalam berkarier seperti agresif, ambisius, produktif,
dan sebagainya.[3]
Wanita telah menyumbangkan jumlah waktu yang
sedikit lebih rendah daripada pria dalam mencari nafkah dan kegiatan di luar
rumah lainnya, namun wanita jauh lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
mengurus rumahtangga. Tugas untuk mengurus, membimbing, dan mendidik anak-anak
merupakan tanggung jawab utama seorang ibu. Khususnya peran ”mengurus pekerjaan
rumahtangga”, seperti: memasak, mencuci, membereskan rumah dan sebagainya, pada
beberapa keluarga seringkali dilakukan dengan bantuan pembantu rumahtangga,
terutama pada keluarga-keluarga yang keadaan ekonominya relatif baik. Adanya
pembantu rumah tangga ini sangat meringankan beban ibu uuntuk menyelesaikan
pekerjaan rumahtangga yang seolah-olah tidak ada habisnya.[4]
Permasalahan baru muncul, setelah perlakuan
terhadap perempuan dirasakan menimbulkan tekanan demi tekanan, kekerasan, dan
ketidakadilan dalam berbagai bentuk kehidupan seperti marginalisasi, proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi, dan diskriminasi. Satu contoh klasik betapa
beratnya beban dan ketidakadilan yang dialami perempuan dikemukakan oleh the
United Nations Commission on the Status of Women (1980).[5]
Pembangunan juga tidak lain dari perluasan
proyek menciptakan kekayaan menurut teori ekonomi modern patriarki Barat yang
memeras dan menyingkirkan perempuan (Barat dan non-Barat), memeras dan merusak
alam, dan memeras dan merusak kebudayaan-kebudayaan. Oleh sebab itu,
pembangunan tidak boleh tidak berarti menghancurkan perempuan, kebudayaan dan
alam (Shiva, 1997 dalam Mulyawan, 2002).
Konsep pembangunan yang diterapkan di seluruh
dunia kini adalah konsep barat, yang pada intinya akan mengubah alam kehidupan
tradisional menjadi modern yang diwujudkan dalam struktur ekonomi industri
untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian. Di dalam masyarakat seringkali
perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi obyek dari berbagai upaya
perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang mengacu pada asumsi yang
sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang
menjelaskan mengapa perempuan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses
pembangunan.[7]
Pada umumnya di dalam program-program
pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten, maupun desa baik laki-laki maupun
perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Hampir semua program kebijaksanaan bersifat top down, sehingga
masyarakat hanya tinggal sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma
tradisional seringkali masih tetap dijadikan acuan di dalam menyusun program
kebijaksanaan, dan terjadi penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di
pedesaan. Di tingkat desa akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih
besar daripada perempuan.
Dari pembahasan konsep perempuan terletak
pada konsep kodrat perempuan yang tersosialisasi dalam masyarakat sekarang ini
sesungguhnya mengandung suatu pengertian penguatan mitos-mitos tentang
perempuan. Secara jujur harus diakui bahwa konsep kodrat membatasi pencarian
solusi atas permasalahan perempuan. Oleh sebab itu, ada gagasan untuk
meninggalkan konsep kodrat dan digantikan dengan konsep martabat perempuan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini. Dari uraian di
atas tampak jelas bahwa perempuan terlibat dalam
pembangunan. Berkenaan dengan hal ini
persoalan yang tersisa adalah bagaimanakah dampak pembangunan di negeri ini
terhadap perempuan (Noerhadi, 1989).
“Di Afrika, dimana perempuan menanam sebagian
besar tanaman pangan, praktik yang konsisten mengenai pentargetan laki-laki dan
akses terhadap tanah dan input pertanian, dan tidak mengikutsertakan
perempuan, berpengaruh besar atas jumlah bahan pangan yang ditanam. Keyakinan
tentang peran perempuan juga mempengaruhi proses land reform di berbagai
belahan dunia. Asumsi bahwa laki-laki adalah petani menimbulkan akibat dalam
pengakuan hak-hak tanah formal kepada laki-laki, sekali pun secara tradisional
perempuan menggunakan tanah tersebut untuk menanam bahan pangan baginya
keluarganya” (Moose, 1996).
Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat
nyata dalam berbagai bidang, mereka telah banyak yang berpendidikan tinggi,
mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat menurut bakat dan kemampuannya
masing-masing. Insinyur pertanian sebagaian besar adalah perempuan, jadi
sangatlah besar peran perempuan di bidang pembangunan pertanian di berbagai daerah,
dengan memosisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja di bidang pertanian,
sebagai motivator, dinamisator dan regulator dibidang pertanian baik yang
bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
Sebagai salah satu peran perempuan dalam
membangun pembangunan pertanian yaitu dengan ikut berperan dalam menciptakan
program-program yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dengan meluncurkan
program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang berupaya
mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan
keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Perempuan tani
harus pandai mengatur, mengelola penghasilan yang relatif rendah agar mencukupi
kebutuhan keluarga. Banyak perempuan tani yang bergerak dalam sektor
perdagangan hasil pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (tanam hias dan
anggrek), juga dalam perternakan dan perikanan.[8]
Sementara itu, perempuan tani di pedesaan
juga mengurus anak-anak dan mungkin orang tua yang tinggal bersamanya. Bagi
yang tidak memiliki lahan garapan, ia mencari nafkah sebagai buruh tani. Pada
kenyataannya, perempuan buruh tani menerima upah lebih rendah dibanding laki-laki.
Situasi tersebut terasa berat bagi perempuan petani yang sekaligus merangkap
kepala keluarga yang harus menanggung anak-anak dan orang tua. Guna
mengeliminir semakin banyaknya tenaga kerja muda yang hijrah ke sektor lain
(non pertanian), perempuan tani yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi
berbasis pertanian memerlukan dukungan berbagai pihak. Hal ini penting untuk
memberi keyakinan pada generasi muda, kader-kader pelaku bisnis pertanian bahwa
sektor ini mampu memberikan jaminan hidup layak.
Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan
beberapa hal penting berikut.
- Peran
perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka
telah banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang
di masyarakat menurut bakat dan kemampuannya masing-masing. Insinyur
pertanian sebagaian besar adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran
perempuan dibidang pembangunan pertanian diberbagai daerah, dengan
memposisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja dibidang pertanian,
sebagai motivator, dinamisator dan regulator di bidang pertanian baik yang
bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
- Pembangunan
memiliki arti yang dipahami oleh masyarakat luas sebagai perubahan ke arah
yang lebih baik dan strategi pembangunan menentukan berbagai aspek yang
akan diambil sebagai salah satu tahap dalam pelaksanaan pembangunan.
- Ketergantungan
yang besar bagi perempuan terhadap laki-laki, dan beban kerja ganda
tetap akan menjadi tanggungan dari perempuan dilihat tidak adanya nilai
tenaga kerja perempuan di sektor publik yang disebabkan oleh stereotipe
bahwa perempuan identik pada pekerjaan domestik.
Saran
Perempuan mempunyai akses yang sama dalam hal
pembangunan pertanian. Perempuan ikut berperan dalam pengambilan keputusan.
Dukungan dan partisipasi semua pihak yang terkait sangat diharapkan untuk
mewujudkan kesejahteraan. Selain mengurus rumahtangga, perempuan dapat membantu
suami dalam mencari nafkah dan mengurus lahan pertanian atau pekarangan untuk
menghidupi keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep
dan Penelitian Gender. Universitas Muhammadiyah Malang: Jawa Timur.
Hartono, Sunaryati. 2000. Ratifikasi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Ihromi, T.O. 1990. Para Ibu yang Berperan
Tunggal dan Berperan Ganda. Laporan Penelitian Kelompok Studi Wanita,
FISIP, Universitas Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia: Jakarta.
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.
1988. Analisis Studi Wanita Indonesia. Jakarta.
Mosse, Juia Cleves. 1996. Gender dan
Pembangunan. Editor: Hartian Silawati, Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Half the World, Half
a Chance An Introduction to Gender and Development.
Muliawan, Andri. 2002. Analisis Gender
Dalam Program-program Pembangunan Bidang Pertanian. Diajukan sebagai
skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Pertanian, IPB.
Pratiwi, Novia. 2007. Analisis Gender pada
Rumahtangga Petani Monokultur Sayur Kasus Desa Segorogunung, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Diajukan sebagai skripsi pada
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB.
Sajogyo, Pudjiwati. 1984. Peranan Wanita
Dalam Perkembangan Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
T.H. Noerhadi. 1989. “Bagaimana
Mengatasi Kodrat”, Vol. VI, No. 2, Pesantren.
Widiputranti, Christian Sri, dkk. 2005. Pemberdayaan
Kaum Marginal. Editor: Sutoro Eko, APMD Press: Yogyakarta.
Wiliam, Dede. 2006. Gender Bukan
Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitas Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor
Barat: Center for International Forestry Research.