REFORMA AGRARIA INDONESIA
Abstraksi :
Hambatan utama
pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik pemerintah pada masa
orde baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu
untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera di negara harus
memperhatikan beberapa hal pokok yaitu sumber daya manusia sebagai anggota
masyarakat yang akan mengelola sumberdaya alam (bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya) yang disebut agraria dalam arti luas
serta hubungan manusia dengan sumber-sumber daya alam termasuk didalamnya
mewujudkan keadilan dalam mendapatkan kesempatan untuk memperoleh manfaat dari
agraria tersebut, bukannya beroriebntasi pada pertunmbuhan ekonomi semata.
Sumber daya manusia disuatu negara umumnya sebanding dengan kemajuan negara
tersebut,apa lagi bila ditunjang oleh sumbersumber daya alam yang dimiliki oleh
negara itu yang didistribusikan secara adil dan merata. Sebaliknya ketiga
faktor tersebut justru akan menimbulkan masaalah bila pemerataan pemilikan dan
penguasaannya tidak diperhatikan dan tidak ditujukan untuk kesejahteraan
rakyat.
Pendahuluan
Kegiatan
pembangunan secaara ideal dilaksanakan guna mencapai suatu masyarakat adil,
makmur, dan merata. Bagi sebagian rakyat buakan soal siapa yang berkuasa siapa
yang memerintah dan siapa yang diperintah, tetapi yang penting adalah bagaimana
proses atau usaha untuk mencapai kemakmuran dijalankan sesuai ciota rasa
keadilan rakyat dan jelmaan dari cita-cita dan tujuan nasional. Untuk
terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera di suatu Negara haruslah
memperhatikan beberapa hal pokok yaitu sumber daya manusiasebagai anggota
masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam (bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya) yang disebut agraria dalam arti luas
serta hubungan manusia dengan sumber-sumber daya alam termasuk didalamnya
mewujudkan keadilan dalam mendapatklan kesempatan memperoleh manfaat dari agraria
tersebut. Sumber daya manusia disuatu negara umumnya sebanding dengan kemajuan
negara tersebut, apalagi bila ditunjang oleh sumber-sumber daya alam yang
dimiliki oleh negara itu yang didistribusikan secara adil dan merata.
Sebaliknya ketiga factor tersebut justru akan menimbulkan masaalah bila
pemerataan pemilikan dan penguasaannya tidak diperhatikan dan ditrujukan untuk
kesejahteraan rakyat.
Dari berbagai
zaman dan pengalaman sejarah dunia, ternyata ketidakseimbangan pemilikan tanah
(Agraria) yang paling banyak menimbulkan masaalah dan penyengsaraan rakyat.
Sebaliknya indikasi sejahterah tidaknya rakyat di suatu negara ditentukan oleh
adanya pemerataan pemilikan dan penguasaan agrarian negara tersebut. Istilah
pembaruan agraria merupakan terjemahan dari agraria reporm (reforma
agraria), yang dalam pengertian terbatas dikenal sebagai landreform,
dimana salah satu
programnya yang banyak dikenal adalah dalam hal redistribisi (pembagian) tanah (Bonnie
Setiawan, 1997 :3). Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia.
Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan sejak
berabat-abat lamanya oleh negara-negara didunia. Perombakan dan pembaharuan
struktur keagrarian terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan
untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara
yang ingin maju harus mengadakan land reform.
Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reform agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Preancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani.
Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reform agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Preancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani.
Dalam
perkembangannya reforma agraria mengalami perkembangan dan perubahan dimana ada
negara yang berhasil dan membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan dalam
negaranya namun ada pula yang gagal. Oleh Walinsky dikatakan reforma agraria
sebagai masalah yang belum selesai (Gunawan Wiradi,2000:36).
Terhadap pendistribusian tanah atau program landreform dalam sejarahnya pertama
kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Ini
kemudian berkembang ke negara lain di Asia, Amerika Latin maupun Afrika
terutama dalam dekade 1950-an dan 1960-an. Dilaksanakannya konferensi Dunia
mengenal Reformasi Agraria dan pembangunan pedesaan (World conference on
Agrarian Reform and Rural developent) yang diselenggarakan oleh FAO
(Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979
merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk
melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan deklarasi
prinsip-prinsip dan program kegiatan (decleration of principles and
Programme of Action) yang dikenal dengan piagam petani (the Peasants’
charter).
Secara umum deklarasi ini mengakui bahwa masalah kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia dan karenanya ditekankan bahwa program reforma agraria dan pembangunan pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang di tiga tingkat yang saling berkaitan yaitu ditingkat desa, mengikut sertakan lembaga pedesaan, ditingkat nasional, mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata ekonomi Internasional baru. Indonesia merupakan salah satu peserta dari konfrensi dunia itu melakukan pembaruan dibidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang (perpu) No. 1 tahun 1960 tentang Luas batas Maksimum dan Minimum Pemilikan Tanah, pada tanggal 24 Desember 1960. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1961 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini lebih dikenal dengan Undang-Undang Landreform. Untuk aturan pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Bila di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan bila dikatak berhasil dalam program pembaruan agraria yang dilaksanakan terutama landreform dan menjadi contoh bagi negara-negara lain terutama di Asia, maka Indonesia setelah 32 tahun berlakunya UUPA, program landreform yang dilaksanakan belum menampakkan hasil bahkan pada pergantian pemerintahan dari Soekarno (masa Orde Baru) program landreform ini terpinggirkan posisinya dalam kebijakan pembangunan nasional. Pergantian dari Orde Baru ke reformasi ternyata tidak mengubah wajah dari pelaksanaan program landreform walaupun pemerintah baru reformasi mulai berupaya menggiatkan kembali program landreform ini seperti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka pelaksanaan landreform.
Namun sampai sekarang belum nampak hasil dari tim yang dibentuk tersebut. Hal ini menunjukkan kekurang seriusan pemerintah untuk melaksanakan program landreform, padahal program landreform berhasil tidaknya dilaksanakan sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah. Kebijakan pembangunan yang beriorientasi memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan mengundang investor (dalam negeri maupun asing) untuk menanamkan modalnya merupakan salah satu penyebab terhambatnya program landreform sebab telah menempatkan tanah sebagai asset yang bernilai ekonomi sangat tinggi, akibat yang dapat dilihat di masyarakat tani tak bertanah semakin termarginalkan, jumlah tani penggarap semakin banyak, bahkan pemgambilalihan tanah rakyat dengan alasan untuk pembangunan tidak disertai dangtan pembagian ganti kerugian yang layak. Terlalu banyak kasus pertanahan yang muncul, yang untuk dapat disebutkan satu persatu. Sudah terlalu banyak rakyat yang kehilangan tanah untuk pembangunan negeri ini, namun mereka tidak dapat ikut menikmati hasil dari pembangunan ini.
Secara umum deklarasi ini mengakui bahwa masalah kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia dan karenanya ditekankan bahwa program reforma agraria dan pembangunan pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang di tiga tingkat yang saling berkaitan yaitu ditingkat desa, mengikut sertakan lembaga pedesaan, ditingkat nasional, mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata ekonomi Internasional baru. Indonesia merupakan salah satu peserta dari konfrensi dunia itu melakukan pembaruan dibidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang (perpu) No. 1 tahun 1960 tentang Luas batas Maksimum dan Minimum Pemilikan Tanah, pada tanggal 24 Desember 1960. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1961 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini lebih dikenal dengan Undang-Undang Landreform. Untuk aturan pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Bila di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan bila dikatak berhasil dalam program pembaruan agraria yang dilaksanakan terutama landreform dan menjadi contoh bagi negara-negara lain terutama di Asia, maka Indonesia setelah 32 tahun berlakunya UUPA, program landreform yang dilaksanakan belum menampakkan hasil bahkan pada pergantian pemerintahan dari Soekarno (masa Orde Baru) program landreform ini terpinggirkan posisinya dalam kebijakan pembangunan nasional. Pergantian dari Orde Baru ke reformasi ternyata tidak mengubah wajah dari pelaksanaan program landreform walaupun pemerintah baru reformasi mulai berupaya menggiatkan kembali program landreform ini seperti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka pelaksanaan landreform.
Namun sampai sekarang belum nampak hasil dari tim yang dibentuk tersebut. Hal ini menunjukkan kekurang seriusan pemerintah untuk melaksanakan program landreform, padahal program landreform berhasil tidaknya dilaksanakan sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah. Kebijakan pembangunan yang beriorientasi memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan mengundang investor (dalam negeri maupun asing) untuk menanamkan modalnya merupakan salah satu penyebab terhambatnya program landreform sebab telah menempatkan tanah sebagai asset yang bernilai ekonomi sangat tinggi, akibat yang dapat dilihat di masyarakat tani tak bertanah semakin termarginalkan, jumlah tani penggarap semakin banyak, bahkan pemgambilalihan tanah rakyat dengan alasan untuk pembangunan tidak disertai dangtan pembagian ganti kerugian yang layak. Terlalu banyak kasus pertanahan yang muncul, yang untuk dapat disebutkan satu persatu. Sudah terlalu banyak rakyat yang kehilangan tanah untuk pembangunan negeri ini, namun mereka tidak dapat ikut menikmati hasil dari pembangunan ini.
Reforma Agraria
Indonesia.
Dari berbagai
zaman dan pengalaman sejarah dunia ternyata ketidak seimbangan pemilikan tanah
(agraria) yang paling banyak menimbulkan masaalah dan penyengsaraan rakyat.
Sebaliknya indikasi sejahtera tidaknya rakyat disuatu negara sangat ditentukan
oleh adanya pemerataan pemilikan dan penguasaan agrarian tersebut. Secara
spesifik lagi Iman Soetijkno (kompas cyber, 13 Mei 2002) mengungkapkan bahwa
majunya suatu negara selalu (umumnya) didahului atau disertai dengan
perombakan struktur agrarianya yang berat sebelah, dalam arti adanya
segologolongan manusia menguasai/memiliki tanah disatu pihak, dan adanya segolongan besar
manusia yang hidup dari bercocok tanam, tetapi tidak mempunyai tanah atau hanya
mempunyai tanah sempit. Sebagai contoh :
1. domexico pada
tahun 1859 oleh juarez, semua tanah gereja disita kemudian dibagi-bagi pada
petani. Tapi baru berhasil pada tahun 1910 yaitu adanya “Agraria Revolution “,
yang berakibat adanya perubahan besar-besaran mengenai struktur agraria.
2. Sebelas
negara dieropa, 60 juta are tanah yaitu 11% dari luas seluruh wilayah
negara-negara itu disita atau dibeli oleh pemerintah masing-masing dari tangan
tuan-tuan tanah, bangsawan, raja maupun gereja dan kemudian dibagibagikan
kepada petani yang tidak mempunyai tanah.
3. Di
Chekoslovakia, 10 juta area tanah disita, seperdua dibagi-bagikan kembali kepada
petani kecil atau petani yang tidak mempunyai tanah selebihnya tetap dikuasai
negara untuk kepentingan umum.
Melihat program
pembaruan agraria yang dilakukan oleh berbagai Negara didunia tersebut,
Indonesia nampaknya kurang belajar dari sejarah agraria tersebut. Banyak
dokumen baik sebelum maupun semasa penjajahan menunjukan bahwa ternyata
penumpukan pemilikan dan penguasaan tanah pada segolongan kecil selalu berulang
dan baru disadari setelah terjadi tuntutan-tuntutan, bahkan pemborontakan rakyat.
Pada saat
Indonesia masih terdiri dari kerajaan kecil maupun besar, umumnya yang paling
banyak menikmati hasil agraria adalah raja, keluarga raja dan kronikroninya. Kepentingan
rakyat nampak disepelekan dan kepentingan rajalah yang diutamakan. Yang terjadi
kemudian kerajaan muda disusupi dan diadu domba sehingga terjadi perang antar
kerajaan (perang saudara). Salah satu penyebab utamanya dapat dikatakan karena
kerajaan tidak berakar oada kepentingan rakyat. Pada masa
penjajahan, yang paling banyak menikmati hasil agraria pastilah penjajah dan
orang-orang yang dekat dengan pemerintahan penjajah sebab politik agraria yang
ditetapkan memang politik yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat
jajahan.
Pada saat
merdekapun ternyata tidak serta merta politik agraria nasional, memerlukan
belasan tahun untuk mewujudkan suatu UU sebagai jelmaan politik agraria
nasional yaitu tanggal 24 September 1960 yang dikenal dengan UU No.5 Tahun 1960
tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Disingkat UUPA) , bahkan lebih
awal dari dilaksanakannya konfrensi Dunia di Roma tahun 1979 yang menghasilkan
piagam petani dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan
delegasi besar ke konfrensi tersebut.
Diundangkannya
UUPA merupakan tonggak penting dalam hukum Nasional Indonesia terutama dalam
pembaruan agraria yaitu ketentuan-ketentuan Landreform seperti
ketentuan-ketentuan mengenai luas maksimun-minimum hak milik atas tanah (pasal 7 dan
17ayat (1) UUPA) dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah (Pasal 17 ayat
(3) UUPA). Pengaturannya terdapat dalam UU No.56 Prp 1960 tentang Penetapan Luar
Tanah Pertanian (lebih dikenal dengan UU landreform) dan PP no.224 tahun 1961
Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberioan Ganti Kerugian.
Tujuan dari
dilaksanakannya landreform oleh Boedi Harsono dikatakan adalah untuk mempertinggi
penghasilan dan taraf hidup para penggarap petani, sebagai landasan atau
prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila (Sudargo Gautama, 1990:23).
Ketika UUPA
tercipta ternyata dalam pelaksanaanya banyak juga hambatan yang
menghadangtermasuk pro-kontra substansialnya dan kecurigaan terhadap penyusupan
paham komunis di dalamnya, akibat kendala-kendala itu, maka landreform yang
begitu krusial sempat tidak berjalan begitu lama. Padahal dalam sejarahnya
landreform justru pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat di Jepang,
Taiwan dan Korea Selatan. Ahli Tanah dari New York, Wlf Ladeijensy, dikontrak
untuk melancarkan kebijakan pembagian tanah guna menangkal pengaruh komunisme.
Namun saat diundang oleh Presiden soekarno untuk membantu melakukan program
serupa di Indonesia, Ladeijensky berpendapat program landreform ini akan gagal
di Indonesia, karena minimnya pemerintah yang dapat digunakan membeli
tanah-tanah luas yang akan dibagikan. Juga setelah kunjungannya yang pertama
(1961) beliau mengatakan bahwa keadaan tanah dijawa yang langkah dan penduduk
yang banyak maka ketentuan luas maksimun tidak memungkinkan tersedianya tanah
yang cukup untuk dibagikan (erman Rajagukguk, 1985;323). Jika konsistensi
pemantau batas pemilikan tanah terus dijaga baik batas maksimal maupun minimal
tentu persoalan keadilan dibidang pertanahan tidak akan merebak.
Sejak awal
pelaksanaan landreform sekitar tahun 1961 sampai dengan tahun 2002 setidak-tidaknya
sebanyak 840.227 hak tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328
juta lebih keluarga petani yang tersebar diseluruh Indonesia antara lain adanya
administrasi pertanahan yang tidak sempurna. Hal ini mengakibatkan luas tanah
obyek landreform yang akan dibagikan menjadi tidak tepat Kelemahan ini sangat
rawan dan membuka peluang bagi penyimpangan dan penyelewengan (kompas cyber,13
Mei 2002).
Hambatan utama
pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik pemerintah seperti pada
masa Orde Baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakkan pada masyarakat golongan ekonomi
lemah termasuk petani yang memang membutuhkan tanahy. Meski tanah memang
langkah karena tidak bisa diperbaharui (unrenewable resources ), saling
sengketa antara rakyat dengan pemodal diuntungkan denghan kebijakan ekonomi
yang lebih disebabkan oleh ekspansi modal secara besar-besaran. Dalam hal, ini
para pemodaldiuntungkan para kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan
ketimbang pemerataan ekonomi. Data sensus pertanian tahun 1983 dan 1993 misalnya
menyebutkan ternyata hampir 2 (dua) juta petani dijawa digusur dan melorot
statusnya menjadi buruh tani karena lahan mereka digunakan pembangunan prasarana ekonomi,
kawasan industri dan perumahan tanpa konpensasi yang amat memadai.
Oleh Maria W.
Soemarjono dikatakan tanah tidak pernah dijadikan strategis pembangunan
sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis – psikologis (Media
Transparansi Indonesia Cyber, 2001). Pergantian rezim pemerintahan tidak
membawa banyak perubahan pada wilayah pelaksanaan landreform Indonesia.
Walaupun Pemerintah dimasa reformasi ini berupaya untuk menggiatkan kembali
landreform dengan mengeluarkan KepresNo.48 tahun 1999 tentang tim Pengkajian
Kebijaksanaan dan Peraturan Per Undang-Undangan Dalam Rangka Pelaksanaan
landreform. Tim Landreform ini mempunyai tugas (pasal 3) yaitu :a) melakukan
pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan ; b)
melakukan pengkajian dan penelahan terhadap pelaksanaan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan landreform; c) menyusun dan merumuskan
kebijaksanaan dan rancangan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk
terlaksananya landreform. Namun belum kita lihatadanya hasil dari pembentukan
tim tersebut. Semakin menumpuknya masaalah pertanahan tidak bisa dilepas dari
macetnya pelaksanaan landreform di Indonesia. Mencermati perkembangan
masyarakat sekarang dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi maka
kiranya kebijakan pertanahan dalam rangka landreform perlu ditinjau ulang.
Kebijakan ini perlu untuk disesuaikan dengan konsep pembaharuan agraria dan paradigma
baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis dan partisipatif, namun hal
ini tidak bisa dilepaskan dari keseriusan pemerintah. Sebab berhasil tidaknya
suatu program tergantung dari kemauan politik pemerintah berkuasa.
Kesimpulan
Melihat perkembangan program
landreform di Indonesia yang ternyata dapat dikatakan sama sekali macet dalam
pelaksanaannya, Indonesia nampaknya kurang dapat belajar dari sejarah
pembaharuan agraria, terutama landreform yang dilakukan oleh negara-negara lain didunia
guna mendukung pelaksanaan landreform di Indonesia, hal ini terutama disebabkan
oleh kurangnya kemauan politik pemerintah serta kebijakan pembangunan yang
lebih mengarah pada upaya mengejar pertumbuhan tanpa memperhatikan
pemerataan ekonomi, akibatnya dirasakan oleh rakyat terutama yang tidak
memiliki tanah yang semakin terpuruk pada kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 13 Mei
2002, Pengalaman dan Hikmah Sejarah UUPA, kompas Cyber.
A.P.Perlindungan,
1980, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, alumni Bandung.
Bonnei Setiawan,
1997, Reformasi Agraria, Perubahan Politik, dan Agenda
Pembaharuan
Agraria di Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria dan lembaga Penerbit FEUI,
Jakarta.
Erma Rejagukguk,
1985, landreform : Suatu Tinjauan kebelakang dari pandangan
kedepan, Majalah
Hukum dan Pembangunan No.4 Tahun XV, FHUI, Jakarta.
Gunawan Wiradi,
2000, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, Lapera
Pustaka Utama,
Yogyakarta.
Maria W.
Soemarjono, 2001, tanah dari rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk rakyat, Media
Transparansi
Indonesia Cyber.
Sudarga Gautam,
1990, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT.Citra Adiotya
Bakti, bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar